Balas Budi Membabibuta Dengan Uang Negara

LAMPUNG (PeNa) Politik balas budi menjadi hal yang lumrah, namun apa jadinya ketika balas budi tersebut dilakukan membabibuta dan menggunakan uang negara.

Ditahun ke tiga kepemipinan Arinal-Nunik, Pemerintah Provinsi Lampung menggelontorkan dana Rp 1 Triliun lebih dalam mata anggaran hibah dan bantuan sosial. Dana tersebut dibagi-bagikan merata keberbagai kalangan yang mayoritas mengaku sebagia orang dekat atau tim pemenangan.

CIlakanya, pemerintah lemah dalam memvalidasi calon penerima dan calon lokasi (CPCL) tak ayal dana hibah menguap tidak karuan, tidak jelas bahkan ada yang tidak sampai ke penerima. Mirisnya lagi, tidak ada monitoring dan evaluasi penyaluran dan penerimaan dana hibah tersebut.

Semisal, penyaluran dana hibah pada Pondok Pesantren Darul Huda yang berada di Kampung Kota Gajah Timur Kecamatan  Kota Gajah Lampung Tengah senilai Rp15 juta. Dalam surat Keputusan (SK) Gubernur nomor G/487/V1.02/HK/2020, pondok tersebut hanya salah satu dari ratusan lembaga termasuk terdapat masjid, gereja dan rumah ibadah lainnya.

Darul Huda, terasuk dalam kategori Pondok Pesantren sehingga nominal bantuannya lebih besar dibandingkan rumah ibadah, namun setelah ditelusuri, Daruh Huda hanya sebagai Tempat Pendidikan Alquran dengan anak anak sebagai muridnya.

“Kalau pondok kan ada santri nya mas, ini tidak ada santri. Adanya anak anak mengaji, itu pun membayar setiap bulannya. Tapi masalahnya walaupun sudah membayar terkadang kalau ustadnya tidak ada ya tidak ada yang mengajar dan itu sering terjadi,” kata Huda warga setempat.

Pengamat Hukum dan akademisi DR Yusdianto Alam SH MH menilai, bentuk-bentuk penyaluran dana hibah dan bansos rawan penyelewengan dan penyalahgunaan. “Bukan berarti dianggarkan semau dia (gubernur) dan dibagikan sesuka hatinya. Itu uang negara, ada prosedur formalitas administrasi dan itu harus diuji oleh karenanya ada yang namanya kesbangpol linmas. Wajib dimonitor dan dievaluasi tidak hanya sekedar uang terbagi habis. Pertanggungjawaban nya juga transparan. Coba itu aparat penegak hukum pelajari, sampling saja lah gak usah keseluruhan,” kata dia singkat.

Padahal, sejatinya dana hibah ditujukan untuk menunjang capaian program dan kegiatan pemerintah daerah. Sayangnya, pada praktiknya sering menjadi bahan incaran dengan beragam modus, seperti mark up anggaran, pembentukan lembaga fiktif, hingga untuk keperluan kampanye pilkada.

“Dana bansos dan hibah itu boleh tapi selektif, selektif dan bisa dipertanggungjawabkan jangan 5 tahun berturut-turut yang terima dana bansos dan hibah yang itu-itu saja orangnya atau lembaganya. Bisa jadi modus operandi korupsi dana hibah juga nanti,” katanya.

Banyak pejabat daerah yang menjadi tersangka korupsi karena penyalahgunaan dana hibah. Pengelolaan dana hibah di sejumlah daerah juga karut-marut, banyak yang tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 14 tahun 2016.

Bukan hanya menyasar pada lembaga yang ada di Lampung, organisasi yang berada di luar Lampung mendapatkan bantuan fantastis sebesar Rp 500 juta. Selain itu organisasi yang baru terbentuk dan kontribusinya cenderung tidak jelas yakni Komite Olahraga Rekreasi Masyarkat Indonesia (KORMI) juga mendapatkan bantuan sebesar Rp 2 miliar.

Sementara itu, mengutip dari analisis.co.id, beberapa lembaga atau masjid yang digunakan untuk menerima bantuan dana hibah 2020 diduga fiktip. Seperti contoh di masjid Nurussalam, Waydadi Baru, Sukarame Bandarlampung.

Pengurus masjid setempat mengaku tidak pernah menerima bantuan dana hibah, sebesar Rp.100 juta. “Sepeserpun kami tidak pernah menerima bantuan dari Pemprov Lampung. Sejak 2020 hingga sekarang. Saya menyangkan pihak yang mengunakan nama masjid Nurussalam,” kata dia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.