Komunitas Odapus Lampung: Ruang Solidaritas bagi Pejuang Lupus yang Masih Terpinggirkan

BANDARLAMPUNG – (PeNa), Hidup dengan lupus bukan perkara mudah. Penyakit autoimun ini menyerang hampir seluruh bagian tubuh, mulai dari kepala hingga kaki, membuat para penyintas—yang kerap disebut odapus—harus menghadapi tantangan fisik dan mental setiap hari. Namun dari perjuangan itu, lahirlah kekuatan kolektif melalui Komunitas Odapus Lampung (KOL), sebagai ruang berbagi dan saling menguatkan antar penyintas.

Ketua KOL, Merli Susanti, mengisahkan awal terbentuknya komunitas ini. Ia divonis mengidap lupus sejak tahun 2011, dan atas saran dari dokter yang menanganinya saat itu, dr. Firhat Esfandiari, Sp.PD., FINASIM, Merli pun mulai menghimpun sesama odapus.

Bacaan Lainnya

“Saya pasien dr. Firhat. Beliau menyarankan agar saya mengumpulkan pasien lupus lain agar bisa saling support. Awal 2017 saya mulai cari teman lewat Facebook. Ketemu lima orang, dan April 2017 kami kopi darat pertama kali,” ujar Merli dalam Podcast Kongsi bersama SMSI Kota Bandar Lampung.

Pertemuan pertama itu menjadi tonggak lahirnya KOL. Kegiatan resmi perdana mereka adalah Seminar Awam Lupus di RS Natar Medika pada 13 Mei 2017. Sejak itu, komunitas ini tumbuh dan kini menaungi lebih dari 270 anggota, mayoritas berdomisili di Bandar Lampung.

Namun, jumlah tersebut belum mencerminkan keseluruhan penyintas lupus di Provinsi Lampung.

“Masih banyak yang konsultasi pribadi tapi belum bergabung karena kondisi fisik yang terbatas atau tinggal jauh dari kota,” terang Tri Hasriyanti atau Asri, selaku Humas KOL.

KOL secara konsisten menggelar berbagai kegiatan pemberdayaan, seperti pelatihan membuat kue, merajut, menulis, dan pendampingan pasien baru. Mereka juga rutin mengadakan pertemuan, kunjungan pasien, seminar edukasi, senam lupus, serta pengajian sebagai bentuk dukungan spiritual.

Merli mengaku, aktivitas di komunitas ini menjadi alasan baginya untuk terus semangat menjalani hidup meski dalam kondisi sakit.

“Apa yang kami lakukan di komunitas ini membuat saya terus bertahan. Saya jadi lebih bersyukur dan mampu menerima kondisi saya sekarang,” ujarnya.

 

Risiko, Gejala, dan Deteksi Dini Lupus

Merli menjelaskan bahwa lupus lebih banyak menyerang perempuan usia produktif dibanding laki-laki.

“Dari 100 penyintas lupus, sekitar 90 adalah perempuan dan hanya 10 laki-laki,” kata Merli.

Faktor keturunan dan lingkungan juga turut berperan. Anak dari orang tua penyintas lupus memiliki risiko lebih besar, sementara paparan sinar matahari dan polusi dapat memicu gejala atau memperburuk kondisi.

“Anggota kami datang dari berbagai usia dan gender, bahkan ada anak-anak. Tapi memang, perempuan usia produktif lebih rentan secara hormonal,” tambahnya.

Lupus dikenal sebagai “penyakit seribu wajah” karena gejalanya beragam dan menyerupai penyakit lain, sehingga proses diagnosis bisa memakan waktu bertahun-tahun. Merli sendiri baru mendapatkan kepastian setelah tiga tahun, sementara Asri didiagnosis setelah tujuh tahun menjalani pengobatan.

Sebagai upaya deteksi dini, Merli menyarankan metode Saluri (Periksa Lupus Sendiri) dengan mengenali 11 gejala awal, seperti ruam kupu-kupu di wajah, ruam berbentuk cakram, kulit sensitif terhadap matahari, nyeri sendi, peradangan organ, gangguan ginjal, kejang, anemia, sariawan, kerontokan rambut, hingga perubahan warna jari saat terkena dingin.

 

Harapan di Hari Lupus Sedunia

Momentum Hari Lupus Sedunia pada 13 Mei 2025 sekaligus menandai ulang tahun ke-8 Komunitas Odapus Lampung. Dalam kesempatan itu, Merli dan Asri menyuarakan harapan agar kesadaran terhadap lupus semakin meningkat.

“Lupus masih belum menjadi isu nasional. Banyak yang belum tahu dampaknya terhadap kondisi fisik, mental, sosial, bahkan ekonomi penyintas,” ujar Merli.

Banyak odapus yang semula aktif dan mandiri, terpaksa harus berhenti bekerja, menarik diri dari lingkungan sosial, dan mengalami tekanan mental akibat perubahan drastis dalam hidup mereka.

“Kami berharap ada perhatian nyata dari masyarakat dan pemerintah. Salah satunya agar pengobatan lupus bisa lebih mudah diakses dan ditanggung BPJS,” tandas Merli.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.