SGC, Manisnya Gula, Pahitnya Framing: Suara Akar Rumput dari Lampung

Lampung – Tanah Lampung yang luas dan subur menyimpan tidak hanya menimpan keindahan, tapi juga harapan dari jutaan masyarakatnya yang menginkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Di balik keindahannya, tersembunyi kisah yang jarang terangkat dalam percakapan nasional. Bagi sebagian orang, kebun tebu dan pabrik gula sekadar wajah industri—simbol produksi massal dan perhitungan laba. Namun bagi masyarakat pedesaan yang hidup berdampingan dengannya, tebu telah lama menjadi penopang harapan, penjaga dapur, dan penyambung nyawa sejak puluhan tahun silam.

Dari tengah perkampungan, suara berbeda datang. Bukan dari podium politik atau ruang rapat pejabat, tetapi dari tanah tempat rakyat berpijak. Hendra Mukri, Ketua Perguruan Paku Banten Indonesia, menyuarakan kembali makna yang sering luput: bahwa SGC (Sugar Group Companies) tak hanya berdiri sebagai korporasi, melainkan telah menjadi bagian dari denyut sosial dan ekonomi rakyat Lampung.

“Kami tidak bicara besar kecilnya perusahaan, tapi tentang apa yang telah mereka berikan untuk manusia di sekitarnya. Dan SGC sudah melakukannya sejak lama,” ujar Hendra seusai pengajian rutin di Seputih Banyak.

Kepedulian yang Terlihat: Dari Dapur Buruh hingga Ruang Kelas Anak

Sebagian besar anggota Ormas Paku Banten berasal dari masyarakat adat dan petani informal yang hidup berdampingan dengan wilayah produksi SGC. Dalam banyak hal, SGC telah hadir bukan hanya sebagai pemberi kerja, tetapi juga pengasuh sosial—terutama di saat krisis ekonomi dan nasional datang bergantian.

“Kalau hanya lihat pabriknya, memang tampak megah. Tapi datanglah ke dapur-dapur buruh itu. Anak-anak buruh bisa sekolah gratis dari TK, SD, SMP, hingga D3. Klinik 24 jam juga tersedia di lingkungan kerja,” kata Hendra.

“Yang kami lihat bukan sekadar mesin dan angka, tapi dampak yang nyata bagi manusia di sekitarnya. Dan SGC, dalam perjalanan panjangnya, telah membuktikan bahwa mereka bukan hanya berdiri untuk industri, tetapi juga untuk kehidupan.” tegasnya lagi.

SGC telah mendirikan fasilitas pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga politeknik D3. Ratusan anak buruh, petani, dan masyarakat Lampung yang kurang mampu kini bisa mengakses pendidikan nasional secara gratis. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi sarjana dan kembali berkontribusi membangun kampung halaman.

“Ini bukan sulap. Ini hasil konsistensi dan kepedulian selama puluhan tahun. Itu yang harus dilihat dengan jujur,” tegasnya.

Mewarisi Nilai Sosial: Membangun dari Hati, Bukan Hanya Mesin

Menurut Hendra, SGC menjalankan nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh Abah Mukri: bahwa pembangunan sejati bukan hanya membangun gedung dan mesin, tetapi menanam harapan dalam hati manusia dan menjaga relasi sosial di pedesaan.

Karena itu, saat muncul isu-isu sengketa lahan yang menurutnya direkayasa oleh segelintir oknum, Paku Banten merasa perlu bersuara. Bukan untuk membela korporasi, melainkan membela realitas kehidupan puluhan ribu keluarga yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem sosial dan ekonomi SGC.

“Kalau SGC diganggu dengan framing-framing, siapa yang bertanggung jawab atas masa depan keluarga buruh dan anak-anak mereka?”

Ia menambahkan, perjuangan sejati adalah menegakkan keadilan dan kepastian hukum, bukan membuat kegaduhan yang justru merusak kehidupan rakyat dan menurunkan kepercayaan terhadap hukum negara. Perusahaan yang benar-benar membumi dalam tanggung jawab sosialnya, akan dilihat bukan sekadar sebagai produsen barang atau jasa, melainkan sebagai agen pembangunan masyarakat. “Kami bukan membela korporasi, kami membela kehidupan rakyat berdasarkan realitas. Kalau perusahaan hadir dan nyata membantu rakyat, itu harus kita jaga bersama.” imbuhnya.

Menilai Ulang Peran Korporasi dalam Kehidupan Rakyat

Melalui kacamata masyarakat adat dan spiritualis lokal, SGC bukan sekadar korporasi gula. Ia telah menjadi bagian dari pertanian nasional, industri strategis, dan tulang punggung kemandirian pangan Indonesia.

“Kalau gula itu manis, biarlah manisnya tidak hanya di mulut, tapi juga di hati rakyat. Itu baru nasionalisme sejati—yang membangun, bukan merusak.”

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.