Waspada Pencatutan Dana Revitalisasi, Sekolah Diminta Tegas Menolak

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menggulirkan program Revitalisasi Satuan Pendidikan Tahun Anggaran 2025 sebagai salah satu langkah strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Program ini menyasar berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA/SMK).

 

Tujuan utama program ini adalah menghadirkan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih layak, modern, dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. Dengan adanya revitalisasi, sekolah diharapkan tidak hanya mampu memberikan kenyamanan belajar, tetapi juga mendukung peningkatan kualitas hasil belajar peserta didik.

 

Namun, di tengah semangat pemerintah untuk memperkuat sektor pendidikan, muncul kabar adanya dugaan praktik pencatutan dana revitalisasi sebesar 15% oleh oknum-oknum tertentu. Praktik ini tentu saja mengkhianati semangat pembangunan pendidikan nasional. Lebih jauh lagi, tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan hukum dan berpotensi merugikan langsung sekolah serta para siswa.

Pelaksanaan program revitalisasi memiliki karakteristik berbeda sesuai jenjang pendidikan.

Sekolah Dasar (SD), di tingkat SD, fokus utama dana revitalisasi diarahkan pada pemenuhan sarana dasar yang menunjang proses pembelajaran. Misalnya, pembangunan atau rehabilitasi ruang kelas, pengadaan mobiler (meja-kursi siswa dan guru), perbaikan fasilitas sanitasi, ruang UKS, hingga perpustakaan sederhana. Beberapa SD juga mendapatkan dukungan untuk pengadaan peralatan TIK dasar sebagai bagian dari upaya memperkenalkan literasi digital sejak dini.

Dengan kondisi di lapangan yang masih banyak sekolah dasar menghadapi keterbatasan sarpras, dana revitalisasi ini seharusnya benar-benar dipergunakan maksimal. Jika dipotong 15%, kualitas pembangunan ruang kelas atau jumlah mobiler yang dibeli otomatis akan berkurang, dan yang dirugikan langsung adalah murid.

Sekolah Menengah Pertama (SMP), pada jenjang SMP, selain kebutuhan dasar seperti ruang kelas dan mobiler, revitalisasi biasanya diarahkan untuk penguatan laboratorium IPA, ruang praktik TIK, perpustakaan, serta perbaikan sarana sanitasi. Laboratorium IPA, misalnya, sangat krusial untuk mendukung pembelajaran sains yang berbasis praktik langsung. Kekurangan alat praktikum bisa membuat pembelajaran berhenti hanya pada teori.

Karena itu, jika ada pencatutan dana, dampaknya langsung terasa: laboratorium yang seharusnya lengkap tidak bisa dibangun dengan baik, atau peralatan praktikum yang seharusnya tersedia malah dipangkas kualitas dan kuantitasnya.

Sekolah Menengah Atas (SMA), untuk SMA, kebutuhan revitalisasi lebih kompleks. Selain ruang kelas dan perpustakaan, banyak SMA juga membutuhkan laboratorium sains dengan standar lebih tinggi, ruang multimedia, hingga sarana olahraga yang layak. Sebagai jenjang persiapan menuju pendidikan tinggi, fasilitas SMA harus mampu menunjang penguasaan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam.

Pemotongan dana di level ini bisa menyebabkan pembangunan laboratorium tidak selesai sesuai spesifikasi, atau bahkan tertunda. Akibatnya, siswa SMA tidak mendapatkan pengalaman belajar yang optimal dan tertinggal dari sekolah lain yang sarprasnya lebih lengkap.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), SMK adalah jenjang yang paling menuntut biaya tinggi dalam pelaksanaan revitalisasi. Hal ini karena SMK membutuhkan bengkel kerja, peralatan praktik kejuruan, hingga teaching factory yang sesuai dengan jurusan masing-masing. Contohnya, SMK jurusan otomotif memerlukan peralatan mesin, SMK jurusan tata boga membutuhkan dapur praktik standar industri, sementara SMK perhotelan memerlukan fasilitas simulasi pelayanan hotel.

Jika dana revitalisasi dicatut, otomatis kualitas lulusan SMK akan terganggu. Siswa SMK berpotensi tidak bisa berlatih dengan peralatan standar industri, sehingga daya saing lulusan di dunia kerja berkurang drastis. Padahal, revitalisasi SMK adalah salah satu program prioritas pemerintah dalam mencetak tenaga kerja siap pakai.

Pencatutan atau pemotongan dana bantuan pemerintah, termasuk dana revitalisasi pendidikan, jelas bertentangan dengan hukum. Beberapa aturan yang mengatur hal ini antara lain:

  • UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 2 dan 3 menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta menyalahgunakan kewenangan hingga merugikan keuangan negara, dapat dipidana penjara hingga 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

  • UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib memastikan pengelolaan anggaran sesuai dengan peruntukannya. Dana pendidikan yang bersumber dari APBN/APBD harus dipakai sesuai juknis.

  • Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Mengategorikan pungutan di luar ketentuan resmi sebagai tindak pidana pungli, yang bisa diproses oleh aparat penegak hukum.

Dengan aturan ini, setiap oknum yang mencoba meminta potongan 15% dari dana revitalisasi dapat dijerat hukum, baik sebagai pelaku korupsi maupun pelaku pungli.

Perlunya Pengawasan Ketat

Pengawasan menjadi faktor kunci agar dana revitalisasi benar-benar sampai ke sekolah dan digunakan sesuai rencana. Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak boleh hanya sebatas mengawasi di atas kertas, tetapi harus melakukan monitoring langsung ke lapangan. Proses pencairan, pelaksanaan fisik, hingga pelaporan harus dipastikan sesuai aturan.

Selain itu, Inspektorat Daerah, BPKP, dan aparat penegak hukum juga perlu aktif melakukan pengawasan. Mekanisme pengaduan harus dipermudah, sehingga jika ada indikasi permintaan setoran atau pencatutan, pihak sekolah bisa melapor tanpa takut ditekan.

Sekolah Harus Berani Menolak

Pihak sekolah sebagai penerima dana juga memiliki peran penting. Kepala sekolah, bendahara, maupun tim pengelola dana revitalisasi harus tegas menolak setiap permintaan potongan dana. Dana bantuan ini adalah hak sekolah yang diprioritaskan untuk kepentingan siswa, bukan untuk dibagi-bagi kepada oknum.

 

Sekolah juga harus menjalankan prinsip transparansi dengan mengumumkan besaran dana yang diterima dan penggunaannya kepada warga sekolah serta komite. Dengan demikian, masyarakat ikut mengawasi, sehingga ruang gerak oknum untuk mencatut semakin sempit.

Jika ada pihak yang memaksa, sekolah berhak melaporkan ke Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, Ombudsman RI, Satgas Saber Pungli, atau aparat penegak hukum.

Program revitalisasi pendidikan adalah investasi pemerintah untuk mencetak generasi emas Indonesia. Setiap rupiah yang dikucurkan dalam program ini harus dipastikan sampai ke sekolah secara utuh, tanpa potongan. Oleh karena itu, dinas pendidikan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus memperketat pengawasan, sementara sekolah sebagai penerima bantuan harus berani bersuara dan menolak segala bentuk pencatutan. Hanya dengan sinergi semua pihak, dana revitalisasi benar-benar dapat dimanfaatkan untuk tujuan utamanya: meningkatkan mutu pendidikan Indonesia demi masa depan anak bangsa. tim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.