JAKARTA – (PeNa), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menggelar Dialog Nasional bertajuk “Media Baru vs UU ITE” di Jakarta, Selasa (28/10/2025). Forum ini jadi ruang debat sehat soal kebebasan berekspresi di era digital.
Ketua Umum SMSI Firdaus menegaskan, media baru wajib memahami hukum agar tak terseret pasal karet. “Kebebasan berekspresi harus berjalan berdampingan dengan tanggung jawab sosial,” ujarnya.
Firdaus menilai, banyak kreator digital belum sadar risiko hukum saat memproduksi konten. Ia mengingatkan agar pelaku media memahami batas etika agar karya tak berujung pidana.
Dialog menghadirkan tokoh hukum dan media, di antaranya Prof. Reda Manthovani yang diwakili Anang Supriatna, Dahlan Dahi, Prof. Henri Subiakto, dan Rudi S. Kamri. Diskusi dipandu Mohammad Nasir.
Mewakili Kejaksaan Agung, Anang Supriatna menegaskan revisi UU ITE bukan alat pembungkam. “Kami ingin ruang digital lebih sehat dan beretika,” katanya menepis anggapan pembatasan kebebasan berekspresi.
Anang menyebut tantangan terbesar adalah banjir hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. “Hoaks bisa memecah belah bangsa. Literasi digital jadi tameng utama agar masyarakat tak mudah terprovokasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, penegakan hukum dilakukan selektif dan proporsional. “Konteks, motif, serta dampak sosial selalu kami pertimbangkan dalam tiap kasus,” kata Anang menjelaskan arah kebijakan penegakan UU ITE.
Sementara itu, Dahlan Dahi mengingatkan pentingnya etika jurnalistik di tengah ledakan media baru. “Siapa pun yang membuat berita, baik lewat portal maupun YouTube, wajib menjunjung akurasi,” ucapnya tegas.
Dahlan menilai, era digital membuat semua orang bisa jadi wartawan dadakan. “Jangan kejar viral tapi abaikan fakta. Tanggung jawab publik harus jadi fondasi utama,” tambah CEO Tribun Network itu.
Dalam sesi berikutnya, Prof. Henri Subiakto menjelaskan revisi UU ITE kini menekankan unsur kesengajaan. “Seseorang baru bisa dipidana jika terbukti berniat jahat menyerang kehormatan orang lain,” terangnya.
Henri menyebut pasal 27 ayat (3) dan 27A masih sering dipakai dalam kasus pencemaran nama baik. “Revisi 2024 adalah langkah menyeimbangkan antara perlindungan kehormatan dan kebebasan berekspresi,” jelasnya.
Sementara Rudi S. Kamri menilai UU ITE tak perlu ditakuti. “Selama kita tak menyebar fitnah dan menghormati fakta, undang-undang ini justru jadi pedoman agar ruang digital sehat,” katanya lugas.
Rudi menilai edukasi publik jauh lebih penting daripada ketakutan terhadap pasal hukum. Ia mendorong kreator konten memperkuat literasi digital untuk membangun ekosistem media yang bermartabat.
Dialog berlangsung dinamis, peserta dari berbagai daerah antusias berdiskusi tentang tanggung jawab media dan etika digital. Mereka sepakat, kebebasan berekspresi tak boleh lepas dari nilai moral.
Acara ditutup dengan seruan kolaborasi antara regulator, aparat hukum, dan pelaku media digital. Tujuannya satu: menciptakan ekosistem informasi yang profesional, beretika, dan berpihak kepada publik.






