Koalisi Sipil Lampung Tolak Rencana Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Sebut Abaikan Sejarah dan Korban HAM

BANDARLAMPUNG – (PeNa), Koalisi masyarakat sipil di Provinsi Lampung menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Mereka menilai langkah tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebenaran sejarah dan penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menilai rencana itu sebagai ironi dalam upaya bangsa menegakkan keadilan.
“Memberikan gelar pahlawan kepada sosok dengan rekam jejak otoriter dan pelanggaran HAM berat sama saja dengan menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap penderitaan para korban,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (4/11/2025).

Bacaan Lainnya

 

Penghinaan terhadap Korban Pelanggaran HAM

Bowo mengungkapkan, sebelumnya Menteri Sosial Saifullah Yusuf telah menyerahkan berkas berisi 40 nama calon penerima gelar pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Fadli Zon. Salah satu nama dalam daftar tersebut adalah Soeharto.

Menurutnya, gelar pahlawan bukan hanya penghargaan simbolik, melainkan bentuk legitimasi moral dari negara. Karena itu, penyematan gelar terhadap sosok dengan catatan pelanggaran HAM dianggap sebagai langkah yang abai terhadap sejarah.
“Langkah semacam ini juga bisa disebut penghinaan terhadap para korban dan keluarganya yang masih berjuang mencari kebenaran dan keadilan,” tegasnya.

 

Mengingat Tragedi Talangsari dan “UBL Berdarah”

Bowo mengingatkan, Provinsi Lampung menjadi saksi kelam masa kekuasaan Soeharto. Salah satunya adalah peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989, ketika ratusan warga sipil menjadi korban operasi militer yang berujung pada kematian, penghilangan, dan penahanan paksa. Hingga kini, keluarga korban masih menunggu pemulihan dan keadilan dari negara.

Selain itu, tragedi “UBL Berdarah” yang menewaskan dua mahasiswa Universitas Bandar Lampung akibat tindakan represif aparat juga menjadi catatan kelam lain di era tersebut.
“Luka sejarah itu belum sembuh. Negara tidak boleh melupakan, apalagi memberi penghargaan kepada sosok yang bertanggung jawab atas penderitaan tersebut,” ujar Bowo.

 

Desakan Tinjau Ulang Daftar Calon Pahlawan

Lebih lanjut, Bowo menekankan bahwa gelar pahlawan nasional merupakan bentuk legitimasi moral yang seharusnya diberikan kepada tokoh berintegritas, berani, dan berpihak pada rakyat.
“Kalau gelar pahlawan diberikan kepada tokoh yang berkuasa dengan tangan besi, generasi mendatang akan menilai bahwa kekerasan negara bisa dibenarkan atas nama pembangunan,” katanya.

Koalisi masyarakat sipil pun mendesak pemerintah serta Dewan GTK untuk meninjau ulang daftar calon penerima gelar pahlawan nasional tahun ini. Mereka berharap keputusan negara tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran sejarah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.