Panasnya Media Sosial Gara-gara Berita “Hoax”…

 Presiden kelima Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyon, melalui akun Twitter resminya @SBYudhoyono, menyatakan keresahannya terhadap fenomena penyebaran hoax.
“Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar hoax berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yang lemah menang? SBY,” tulisnya.
Maraknya hoax ternyata tidak hanya mengundang keresahan para figur politik dan pembesar di negara ini. Masyarakat juga resah. Akibat hoax, perdebatan panas lebih sering terjadi. Putusnya hubungan pertemanan hanya karena debat tersebut pun bukan hal yang tidak mungkin terjadi.
Seperti yang dikemukakan Indra, eksekutif muda di salah satu perusahaan migas. Ia resah dengan banyaknya informasi hoax yang banyak menyebar lewat grup Whatsapp hingga media sosial seperti Facebook.
“Kalau saya perhatikan biasanya marak munculnya hoax itu memang di saat-saat seperti ini. Menjelang Pilkada, Pilpres, atau pada saat ada kebijakan baru. Misalnya seperti yang harga STNK kemarin. Banyak deh, mulai dari yang isunya politik sampai yang menyangkut ke SARA,” ujarnya.
Sebagai orang yang tidak mudah memercayai informasi-informasi yang belum jelas sumber dan kebenarannya, Indra merasa resah. Menurutnya, hoax yang mengandung substansi SARA, perbedaan paham, sangat rentan mengundang gesekan dan mengganggu ke-Bhinnekaan.
Ia bahkan pernah mengalami perdebatan serius akibat hoax dengan temannya di media sosial.
“Tapi susah sih, kita nggak bisa batesin orang mau menyebar informasi apa. Seperti di grup Whatsapp misalnya. Kitanya yang harus bijaksana. Kalau saya setidaknya cek benar atau tidak ada beritanya di portal berita resmi, kalau sumbernya belum jelas saya tidak mau percaya,” katanya.
Keresahan yang sama juga diungkapkan oleh Aprida Mardelina. Ia sedih berita-berita hoax dapat menjadi sumber keributan. Bukan hanya antar teman saja, tetapi juga antar saudara.
“Misalnya saja soal kegunaan satu tanaman yang bisa jadi obat. Begitu tahu informasi tersebut faktanya salah, dan kita kasih tahu, malah dibilang kita enggak percaya,” ujarnya.
Pengalaman menyaksikan perdebatan di media sosial juga pernah dialaminya saat Pilpres 2014. Perdebatan tersebut mengenai calon presiden dukungan masing-masing.
“Banyak di media sosial yang isinya berita dengan judul-judul spektakuler. Orang jadi ingin klik padahal sumbernya nggak jelas, fotonya nggak nyambung sama isi beritanya, dipotong-potong statement orang di dalamnya,” kata Aprida yang berkarier di salah satu perguruan tinggi swasta tersebut.
Berbeda dengan Indra dan Aprida yang tidak mudah percaya terhadap berita hoax, Yovita, yang saat ini berwirausaha, mengaku bingung informasi mana yang harus dipercayai.
“Saya pernah suatu hari meneruskan saja berita broadcast message dari grup keluarga. Sebenarnya sih tujuannya baik supaya yang lain juga dapat berhati-hati atau waspada. Ternyata berita tersebut salah dan mau tidak mau saya harus menjelaskan, minta maaf, karena tidak mengecek terlebih dahulu,” katanya.
Ia mengaku berita-berita hoax yang paling meresahkannya adalah berita-berita SARA, atau kriminalitas. Terutama jika lokasi yang dekat dengan tempatnya beraktivitas disebut dalam berita hoax tersebut.
“Saya malah sering dapat berita-berita seperti itu dari grup keluarga, dari orang-orang terdekat. Macam-macam beritanya sampai kadang bingung sendiri memilah mana yang benar, mana yang tidak,” ujar Yovita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.